Melihat judul di atas nampaknya sangat kontradiktif dengan realita yang ada pada sebagian masyarakat yang memandang seram terhadap filsafat bahkan mengecam filsafat dan memvonisnya sebagai ilmu yang senantiasa mengobok-obok agama, yang dengannya imej para pengagum filsafat pun akan terlihat seram.
Sebenarnya tidak demikian, karena sekiranya memang paradok antara filsafat dengan agama, kenapa saja para filsuf islam dahulu yang lebih cerdas dan lebih tsiqoh dari para ilmuan zaman sekarang berusaha menyatukan filsafat dengan agama, apakah mereka melakukan tindakan yang salah atau kitanya yang kurang cerdas dalam memahami ilmu agama dan ilmu filsafat sehingga hanya mampu berkomentar tanpa melegitimasinya dengan dalil-dalil yang paten.
Sebelum melangkah kepada pandangan subyektif Al-kindi terhadap filsafat, saya ingin mengajak pembaca untuk kilas balik kepada sejarah akulturasi filsafat islam dengan filsafat Yunani.
Filsafat islam muncul setelah wilayah study terbentang luas di hadapan umat islam sebagai konsekwensi dari penerjemahan buku-buku peradaban yunani dan ilmu-ilmu lainnya, tetapi umat islam tidak hanya menerjemahkan buku-buku ini, bahkan mereka menggagas munculnya berbagai kajian independen.
Jika filsafat islam telah mengambil berbagai tema untuk bahan kajian yang telah dikaji oleh orang-orang Yunani tentang logika, politik, metafisika dan lain-lain, maka sesungguhnya filsafat islam secara independen memiliki karakteristik yang berbeda dan distinktif. Hal ini tidak menjadikannya murni sebagai filsafat Aristotelian yang tertulis dalam bahasa Arab, melainkan sebuah filsafat baru yang didasarkan pada rekonsilisasi antara rasio-filosofis dangan tradisi keagamaan, atau antara hikmah dengan akidah islam.
Abu Yusuf Ya'kub Al-kindi adalah filsuf islam pertama yang tertarik dengan filsafat Yunani, dan termasuk ke dalam barisan terdepan para pemikir yang muncul pada periode pembentukan filsafat islam dan pada permulaan periode-periode transisi kebudayaan dari teologi murni ke masa di mana pemikiran islam berakulturasi dengan filsafat yunani, persia, India dan lain-lain. Maka beliaupun dianggap sebagai orang arab pertama yang menyibukkan diri dengan filsafat dan karenanya digelari dengan filsuf Arab, tetapi meskipun demikian, keimanannya dengan agama islam jauh lebih besar daripada kecintaannya terhadap filsafat, dengan demikian Al-kindi berusaha menyatukan antara filsafat dengan agama.
Alasan Al-kindi dalam usahanya yang mulia ini sangatlah kuat, bahkan dia mengklasifikasikannya menjadi tiga faktor yang mendorongnya untuk menyatukan filsafat dengan agama.
Pertama : Bahwasanya dalam al-qur'an sendiri banyak ayat-ayat yang menganjurkan ulntuk memberdayakan akal, dan menganalisa alam, artinya bahwa alqur'an tidak mengekang akal untuk melaksanakan fungsinya, fa'tabiruu ya ulil al abshar.
Kedua : Mendukung dan melindungi rasionalisme filsafat, karena pada zaman Al-kindi banyak orang yang mengecam filsafat, khususnya pada masa khalifah Abbas yang didominasi oleh Ahlussunnah.
Namun al-kindi sendiri hidup di masa khalifah Al-ma'mun yang didominasi oleh muktazilah (aliran yang sangat dengat dengan filsafat), tetapi tetap saja banyak pihak yang tidak mendukung filsafat saat itu.
Ketiga : Hanya ingin membela dirinya sendiri yang saat itu mendapat caci maki dari masyarakatnya karena concernnya dengan filsafat, dari sinilah Al-kindi ingin menyatukan filsafat dengan agama sebagai sebuah bukti konkrit kepada masayarakat yang mengecamnya bahwa filsafat bukanlah sebuah ilmu kotor dan najis yang diharamkan oleh agama, tetapi merupakan sebuah ilmu suci yang selalu bergandengan tangan dengan agama
Bagi Al-kindi filsafat merupakan sebuah ilmu penting yang menduduki level atas, bahkan merupakan sebuah ilmu yang wajib dikuasai oleh kaum muslim. Dia sangat mengecam setiap orang yang memvonis filsafat sebagai sebuah ilmu non-islamik yang merupakan sebuah sarana menuju kepada kekufuran dan kemurtadan.
Bahkan dalam memandang filsafat sendiri Al-kindi memiliki sudut pandang yang sangat varatif, di antaranya : filsafat adalah cinta terhadap kebijaksanaan, filsafat adalah synonym dengan proyek Tuhan dalam konteks manusia, karena filsafat menghendaki manusia menuju kepada tahap kesempurnaan, sebagaimana juga proyek Tuhan yang ingin menyempurnakan manusia dan filsafat adalah pencipta segala ciptaan, dan hikmah dari segala hikmah bahkan Al-kindi juga menambahkan bahwa banyak ilmu-ilmu lain yang masuk kedalam kategori filsafat, seperti ilmu tauhid, ilmu Akhlak dan segala macam ilmu lainnya yang membwa nilai positif dan jauh dari kesesatan.
Dengan demikian tujuan seorang filsuf tidak akan terlepas dari dua tujuannya secara teori dan praktisi, dari secara teori, tujuannya mencapai kebenaran, sedangkan secara praktisi melaksanakan kebenaran.
Sebagai sosok yang cerdik, Al-kindi juga memiliki metode tersendiri dalam menyatukan filsafat dengan agama yang di antaranya : Mempublikasikan bahwa filsafat adalah sebuah ilmu atau pengetahuan yang mengantarkan manusia kepada kebenaran sesuai dengan kemampuannya (karena kebenaran murni itu sulit dicapai, hanya Tuhan saja yang mampu melakukannya), dia juga menyatakan bahwa para filsuf selalu mencari sebuah kebenaran melalui teori-teori yang mereka kuasai selanjutnya mereka mengaplikasikannya dalam aktifitas mereka sehari-hari, hal ini sangat senada dengan fungsi dari adanya agama yaitu mencari sebuah kebenaran dan mengaplikasikannya, dengan demikian maka filsafat dan agama bertemu pada satu tujuannya yaitu mencapi sebuah kebenaran meskipun sarana yang dipakainya berbeda, sama halnya dengan semboyan yang dipegang di Indonesia, Bhineka Tunggal Eka.
Di samping itu Al-kindi telah membuat beberapa persyaratan yang harus dikuasai terlebih dahulu oleh para peminat filsafat terlepas dari penguasaannya terhadap ilmu agama, karena Al-kindi sendiri sebelum terjun ke dalam filsafat dia dikenal sebagai orang yang sangat mutadayyin bi al-islam dan dalam filsafat, ilmu agama laksana pondasi dari sebuah bangunan. Di antara persyaratannya yaitu:
Pertama : Memahami terminology filsafat, agar tidak terjadi misunderstanding dalam menginterpretasikannya dan juga tidak menyesatkan orang lain.
Kedua : Menguasai ilmu-ilmu pasti terlebih dahulu, seperti ilmu matematika.
Ketiga : Mendalami filsafat Aristoteles, karena tanpanya, seseorang tidak akan mampu memahami filsafat-filsafat lainnya.
Keempat : Seorang kandidat filsuf, harus menghindari sifat malas dan malu dalam mencari sebuah kebenaran dan menegakkannya,karena tidak ada sesuatu yang lebih mulia diatas kebenaran.
Sebagai sebuah catatan, bahwa filsafat bukanlah ilmu kotor dan najis tetapi adalah ilmu suci yang sangat dihargai oleh islam, namun memang ada sebagian orang yang mengasingkan diri dari filsafat dengan asumsi bahwa filsafat hanya akan menjauhkan manusia dari agama, padahal tidak demikian halnya, karena dengan filsafat sebuah kebenaran akan mudah diungkap, namun bagaimanapun juga ada entitas-entitas lain yang filsafat sendiri tidak akan mampu menggapai kebenerannya kecuali jika berdampingan dengan wahyu, di sinilah bukti harmonisasi filsafat dengan agama.
Selamat membaca!....
Emërtimet: tsaqafah