<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5669884687860723271\x26blogName\x3d.\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://afandyna.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3dsq_AL\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://afandyna.blogspot.com/\x26vt\x3d6272397642456612866', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

.


Refleksi Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan

e diel, 4 nëntor 2007
PENTINGNYA SHORT COURSE WAWASAN KEBANGSAAN
BAGI MAHASISWA INDONESIA DI LUAR NEGERI

(Usulan Kurikulum Pembinaan Kepada Departemen Luar Negeri)

Berbagai penafsiran terhadap wawasan kebangsaan, pada hakikatnya adalah sama, yaitu tentang kesamaan cara pandang ke dalam (inward looking) dan cara pandang ke luar (outward looking) sebuah bangsa terhadap berbagai permasalahannya di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, ideologi, dan pertahanan-keamanan. Sejarah telah membuktikan, bahwa jatuh dan bangunnya sebuah bangsa sangat tergantung kepada konsep wawasan kebangsaan yang mereka anut serta ideologi yang mendukungnya. Semua itu berkaitan dengan konsep sebuah bangsa dalam menyejahterakan rakyatnya, dan tergantung kepada kemampuannya -melalui pemudanya- dalam menyesuaikan diri terhadap berbagai perubahan yang selalu terjadi.
Kualitas atau kadar rasa kebangsaan seseorang sangat dipengaruhi diantaranya oleh faktor “mental kebangsaan” dan “intelektual kebangsaan”. Mental kebangsaan yaitu memuat nilai-nilai yang sangat manusiawi, seperti peduli terhadap masa depan pemuda dan mencintai generasi penerus bangsa. Selanjutnya, Intelektual kebangsaan memuat nilai kreatif untuk memikirkan dan menemukan solusi terbaik bagi permasalahan kepemudaan, selalu berpikir jernih dan berpikir pembaharuan.

Tulisan ini akan memberikan penekanan pada peran yang akan dimainkan oleh generasi muda yang tengah belajar di Luar Negeri yang nantinya diharapkan kembali ke tanah air untuk bersama-sama membangun dan menyejahterakan bangsa tercinta. Aspek lokalitas “Luar Negeri” menjadi penting sebagai botton line penulis dalam menggagas, kenapa short course wawasan kebangsaan dibutuhkan bagi mereka. Apa kolerasi gagasan tersebut dengan problematika kebangsaan kita, seperti masalah kesejahteraan rakyat, saat ini dan juga di masa mendatang.?

Mahasiswa Luar Negeri dan Tawanan Lokalitas
Menjadi mahasiswa di luar negeri sesungguhnya tidak selalu mengasyikkan, sebagaimana yang dibayangkan oleh banyak orang. Banyak suka duka dan problematika hidup yang justeru mungkin lebih besar ketimbang mereka yang berada di dalam negeri. Dalam konteks kebangsaan umpamanya, bisa dibilang mereka yang berada di luar negeri, -apalagi jika telah puluhan tahun meninggalkan tanah air- jelas pemahaman kebangsaannya tidak seluas mereka yang di dalam negeri. Interaksi dengan realitas masyarakat yang menjadikan mahasiswa dapat secara langsung memerankan fungsi sosialnya, juga lebih dapat dijalankan oleh mereka yang berada di dalam negeri. Maka peran yang tampak dominan pada gerakan mahasiswa di luar negeri, sejatinya adalah hampir sebatas intelektual, dan jika pun menyentuh aspek sosial, ia cenderung teraktualisasi melalui wacana transformatif an sich. Namun, sekalipun demikian beberapa perbedaan yang penulis sebut barusan, tidak dalam rangka mengecilkan fungsi dan peran salah satu kelompok mahasiswa atas yang lainnya, melainkan guna memetakan persoalan dilematis yang dihadapi oleh mahasiswa tersebut –khususnya yang berada di luar negeri- dikarenakan kenyataan geografis yang memisahkan mereka dengan entitas tanah airnya.
Salah satu persoalan mendasar dalam ranah dilema ini adalah, apakah mereka yang di luar negeri tersebut masih memiliki pengetahuan yang cukup tentang wawasan kebangsaan sekembalinya mereka ke tanah air,? Ataukah justeru mereka telah tertawan oleh wawasan kelokalan di tempat mereka belajar.? Sebab yang berlaku umum selama mereka di luar adalah, akses terhadap “wajah” tanah air tidak selalu berjalan dua arah, melainkan sangat bergantung kepada seberapa besar kepedulian mereka dalam menghadirkannya secara suka rela, dan juga kepada kemudahan fasilitas yang masing-masing mereka dapatkan. Sehingga paradigma (mind-set) kelokalan selalu menjadi katalog dari kerangka perubahan yang akan mereka terapkan. Persoalan ini menjadi lebih serius, jika seandainya banyak dari kelompok mahasiswa ini setelah berkiprah di masyarakat ternyata tidak memberikan solusi atas pelbagai permasalahan sosial yang terjadi, akan tetapi malah manjadi bagian dari masalah tersebut.
Hal ini kerap terjadi sebab kekeliruan mereka dalam menggunakan pisau analisis dalam melihat persoalan kebangsaan melalui kacamata kelokalan tadi. Sehingga pendekatan yang digunakan terasa tidak sesuai dengan framework bangsa kita yang telah memiliki pandangan atau falsafah tertentu terhadap persoalan ras, etnis, agama, kekayaan alam, wilayah, tekad bersatu, dan ideologi.
Sebagai contoh dari fenomena ini, bagi sekelompok mahasiswa yang mengenyam pendidikan di Barat, yang secara ideologi menerapkan paham kapitalisme dalam bidang ekonomi atau liberalisme dalam politik dan sosial, tentu setelah melihat berbagai kesuksesan pembangunan yang dicapai oleh Barat, dan jika tanpa dibekali dengan wawasan kebangsaan yang memadai, sangat memungkinkan mereka menjadi tawanan lokalitas dengan selalu ingin menyelesaikan persoalan bangsa melalui pengalaman kelokanannya tersebut (baca; Barat oriented). Padahal yang seharusnya mereka ingat adalah bahwa bangsa kita memiliki ideologi yang telah digariskan melalui semangat kebangsaan yang tertuang dalam UUD ’45 dan Pancasila, maka dari sanalah seharusnya ia mulai bertolak, lalu inspirasi penerapannya boleh mengacu dari mana saja selama tidak bertabrakan dengan mainstream kebangsaan tadi. Atau bagi sekelompok mahasiswa lainnya yang belajar di belahan dunia Timur, yang secara ideologi negara-negara tersebut mengembangkan paham sosialisme atau komunisme, dapat saja mereka langsung menjadikan paham tersebut sebagai rujukan atau panglima dalam mengatasi persoalan ekomoni bangsa saat ini. Sehingga pijakan yang mereka ambil tidak lagi mengindahkan konsep kebangsaan yang telah memiliki paham khusus mengenai arah kebijakan ekonomi ini. Dan juga, bagi mahasiswa lainnya yang belajar di Timur Tengah dengan identitas studi keislamannya yang kental dan has, tentu pengamalan ritual keagamaan masyarakat serta budaya bangsa di Timur Tengah juga dapat mempengaruhi pola pikir dan pandangan mereka tentang persoalan sosial, politik, ekonomi dan keagamaan di tanah air. Sehingga kerap pendekatan lokalitas selalu menjadi referensi atau acuan mereka dalam upaya mewujudkan perubahan dan perbaikan pada berbagai ranah.
Menilik kondisi yang demikian, tidak mustahil akan muncul gejolak sosial (komunalisme) atau hasil pembangunan yang kontra-produktif. Maka perlu dilakukan upaya-upaya pemahaman yang benar, mendalam dan komprehensif mengenai wawasan kebangsaan bagi mahasiswa Indonesia di luar negeri oleh pemerintah, sebagai usaha pembinaan yang terstruktur dan berkesinambungan. Di mana dalam tataran ini short course wawasan kebangsaan dipandang sebagai ‘way of life’ atau merupakan kerangka/peta pengetahuan yang mendorong terwujudnya tingkah laku dan digunakan sebagai acuan bagi seseorang untuk menghadapi dan menginterpretasi lingkungan yang aslinya.

Wawasan Kebangsaan dan Kesejahteraan Rakyat
Cita-cita untuk menyejahterakan rakyat atau warganegara sebenarnya telah ada pada abad ke-19, yaitu ketika Bismark memperkenalkan kebijakan yang mewajibkan asuransi nasional untuk sakit, kecelakaan, usia tua, dan cacat. Dan pada awal abad ke-20 di Eropa muncul semacam kesepakatan di antara kaum liberal, konservatif, maupun sosialis untuk mengharuskan negara mengambil peranan menyediakan kebutuhan minum kepada warga negaranya, pendidikan, kesehatan, dan perawatan orang tua. Dan nyatanya tidak ada satu model negara kesejahteraan (walfare state) ketika itu, Jerman mempunyai modelnya sendiri, demikian pula Prancis, Inggris, Finlandia, Swedia, dan sebagainya. Tapi ada sebuah tolak ukur yang menggabungkan mereka bersama, yaitu pengeluaran pemerintah (government spending) yang dipakai untuk mengongkosi kesejahteraan tersebut.
Bahkan negara Cina pun sebagai negara yang menganut ideologi komunisme juga pernah menempuh jalan yang sama dengan negara-negara Eropa itu. Di Cina ada sebuah istilah yang sangat pas untuk melukiskan sistem kesejahteraan yang disediakan oleh negara, yaitu tie fanwan atau “mangkok besi”. Sebuah peristilahan yang digunakan negara dalam aspek penyediaan fasilitas kesejahteraan bagi rakyat Cina dari lahir hingga mati, bukan hanya bagi buruh tapi juga petani.
Sedang untuk Indonesia, terdapat beberapa hak dasar masyarakat sebelum yang lain-lainnya dipenuhi, yang mutlak diwujudkan dalam rangka mewujudkan cita-cita manusia Indonesia yang sejahtera, maju, mandiri dan bermartabat. Hak-hak dasar tersebut meliputi: hak pangan, hak pendidikan, hak kesehatan, hak rasa aman, dan hak penguatan wawasan kebangsaan, kebudayaan, keagamaan dan etika bangsa.
Dahulu memang negara masih mempunyai otonomi dan kapasitas jauh lebih besar daripada sekarang, memasuki milineum ketiga yang dibentuk oleh globalisasi dengan sendirinya terjadi pergeseran dari otoritas negara kepada otoritas pasar, sehingga mau tidak mau dunia saat ini tengah memasuki babak baru yang lebih dominan ditentukan oleh aspek pasar global (global market).
Apa yang terjadi di tanah air kita saat ini merupakan contoh yang paling dekat, dan paling ekstrim dari dampak global market ini. Karena ekses globalisasi dan ketidaksiapan kita mengahadapinya, Investor-investor, asing maupun lokal, menjauhi Indonesia. Pemerintah tidak mempunyai strategi lain kecuali merayu dan memberikan konsesi. Kecuali itu, IMF atau World Bank sama-sama mendikte Indonesia melalui policy hutangnya. Indonesia harus menandatangani berlembar-lembar “letter of intents” yang memuat kebijakan-kebijakan ekonomi yang dibuat oleh tim IMF yang harus dijalankan oleh Indonesia.
Dalam kondisi seperti ini, jangankan kita berharap kepada negara untuk memberikan kesejahteraan yang lebih kepada rakyat, sedang untuk melunasi beban hutang berikut bunganya saja, negara masih belum mampu. Tentu bagi mahasiswa yang telah cukup dibekali dengan wawasan kebangsaan –nantinya- dalam melihat fenomena ini tidak menjadi lekas putus asa, atau langsung memutuskan pindah negara, atau jika ia terbilang golongan sukses berkarir di luar negeri, ia tidak enggan untuk balik ke tanah air. Namun, demi kepentingan masa depan bangsa, mereka berusaha menemukan solusi yang pragmatis, kreatif, dan segera. Pragmatis dalam arti solusi tersebut betul-betul mengatasi masalah pembiayaan yang dibutuhkan sektor-sektor riil nasional. Kreatif dalam arti solusi tersebut tidak boleh lagi-lagi membebani keuangan negara yang sudah hampir lumpuh dibebani utang. Segera dalam arti solusi tersebut ada di sekitar kita dan dapat segera diciptakan, diterapkan, dan disempurnakan terus- menerus. Dan semua ini berarti bahwa dengan wawasan kebangsaan yang kita miliki, betapa pun berat problem dan masa depan bangsa yang kita alami, selalu kita hadapi secara optimis, dengan keyakinan akan selalu ada jalan keluar bagi setiap persoalan. Wawasan kebangsaan meretas keyakinan alam sadar kita akan pentingnya mencintai bangsa betapapun ia tengah terkoyak, maka dengan sendirinya bangsa pun akan memberikan segalanya, termasuk kesejahteraannya kepada kita.

Model Kemitraan antara Negara dan Civil Society (Dunia Usaha)
Salah satu cara yang dapat diusulkan adalah dengan melibatkan dan mengarahkan pihak civil society (dunia usaha) untuk ikut memikirkan kesejahteraan rakyat. Perusahaan swasta, terutama multinasional, memiliki kemampuan dan kepentingan untuk membiayai peningkatan kualitas kesejahteraan juga taraf hidup rakyat. Maka pola yang harus dibangun adalah –meminjam istilah Anthony Giddens- model kerekanan antara negara dan civil society. Kerangka kerekanan ini sudah mutlak diwujudkan, mengingat banyak hal yang tidak dapat diselesaikan oleh civil society sendiri, tanpa negara. Demikian pula sebaliknya, banyak hal yang dapat dilakukan oleh civil society tanpa intervensi negara, namun ternyata dapat mendukung negara.
Hal ini tentu tidak menyampingkan peran penyelenggara negara untuk tetap memfasilitasi dan meregulasi sejumlah kebijakan dan program-program pembangunan yang membuka seluas-luasnya aksesibilitas setiap warga untuk mendapatkan faktor-faktor produksi dengan imbalan kompensasi yang meningkat. Namun yang diperlukan oleh negara adalah mensuport keterlibatan civil society (dunia usaha) untuk mengatasi solusi kesejahteraan rakyat ini secara kemitraan.
Contohnya adalah kegiatan “Berbagi 1.000 Kebaikan” yang diadakan oleh PT Unilever Indonesia (ULI) melalui merek es krim Walls yang akan menyumbangkan Rp 1.000 dari setiap kotak es krim Viennetta Kurma dan varian lainnya terjual. Dana yang terkumpul dari konsumen Vienneta Kurma akan disumbangkan kepada anak-anak putus sekolah melalui Dompet Dhuafa. Kegiatan sosial semacam ini layak untuk dicontoh dalam konteks usaha praktis menyejahterakan rakyat, dan yang terpenting harus diberi beragam insentif oleh negara.
Contoh lain yang dilakukan oleh mahasiswa yang di Luar negeri adalah seperti yang tengah dilakukan oleh ICMI Orsat-London, yaitu mereka menjadi Jembatan kemitraan antara pengusaha Indonesia dan Inggris. Dengan berupaya memanfaatkan peluang keberadaan masyarakat Indonesia di Inggris, baik mahasiswa, professional, pengusaha maupun pegawai pemerintahan untuk menjadi duta ekonomi bangsa. Di mana espektasi dari langkah tersebut adalah menciptakan peluang-peluang bisnis baru yang akhirnya dapat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Yang menariknya, langkah cerdas ini mendapatkan apresiasi tinggi dari pemerintah kita melalui Kedutaan Besar setempat.

Penutup
Tentu masih banyak lagi usaha-usaha kreatif lainnya yang dapat kita lakukan untuk memberikan kontribusi dan memikirkan masa depan bangsa selain daripada yang penulis sebut tadi. Namum sebelum hal itu terwujudkan, mau tidak mau, perlu diretas kondisi ke arah penciptaan, perlindungan, dan penerapan kemampuan intelektual atau human capital pada sistem bangsa kita. Siapkah kita untuk itu?. Jawabannya adalah, pemerintah bersama pihak civil society harus bersama-sama memprioritaskan pendidikan generasi muda bangsa, diantaranya adalah dengan menggiatkan pelatihan, pembekalan, pembinaan, pencerahan, atau short course tentang wawasan kebangsaan –termasuk bagi yang di luar negeri-, agar tertanam dalam jiwa-jiwa generasi muda sikap pengabdian dan kecintaan yang tulus serta totalitas, bagi agama, nusa dan bangsa. Wallahu’alam bi shawab.



Senarai Bacaan:

R. Rahmadhany MBA. MSc., Wawasan Kebangsaan Perekat Persatuan Pemuda Kepri, di situs Gerbang Informasi Kota Batam, Selasa, 27 Pebruari 2007.
H. Hadi, Otto, Nation and Character Building Melalui Pemahaman Wawasan Kebangsaan, makalah dalam diskusi reguler Direktorat Politik, Komunikasi, dan Informasi Bappenas.
I. Wibowo, Dicari: Pimpinan Proyek Sosialis; Masalah Peranan Negara dalam Mengatasi Ketimpangan Kaya-Miskin, artikel yang dimuat dalam buku, Etika Politik dalam Konteks Indonesia, Eddy Kristiyanto (Ed.), Penerbit Kasinius.
Deputi Bidang Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan, Problematika Kemiskinan di Aceh dan Langkah-langkah Pengentasannya, Kantor Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
Giddens, Anthony, The Third Way. The Renewal of Social Democracy, Cambridge: Polity Press 1998.
www.kompas.co.id, Komaruddin Hidayat, Kesejahteraan Sosial, Pendidikan dan Karakter Kebangsaan, Senin, 03 September 2007,
www.icmi-london.org, ICMI London Jadi Jembatan Pengusaha Indonesia dan Inggris, Sabtu, 20 Juni 2007.

BIODATA PENULIS:

NAMA : MULADI MUGHNI
FAKULTAS : SHARI’AH AND LAW
JURUSAN : SHARIA’H AND LAW S2 (LLM)
UNIVERSITAS : INTERNATIONAL ISLAMIC UNIVERSITY ISLAMABAD

Emërtimet: